Sabtu, 23 November 2013

Makalah Ulumul Hadits - Memahami Hadits secara Kontekstual dan Tekstual

BAB 1
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Dalam Hubungannya sebagai sumber pokok ajaran islam, hadits pada umumnya lebih merupakan penafsiran kontekstual dan situasional atas ayat-ayat Al-Qur’an dalam merespon pertanyaan para sahabat Nabi. Dengan demikian hadits merupakan interprestasi Nabi SAW yang dimaksudkan untuk menjadi acuan bagi  para sahabat dalam mengamalkan ayat-ayat Al-Qur’an. Karena kondisi sahabat dan latar belakang kehidupannya berbeda, maka petunjuk-petunjuk yang diberikan Nabi berbeda pula. Pada sisi lain, para sahabat pun memberikan interprestasi yang berbeda terhadap hadits Nabi. Dari sini, maka pada umumnya bersifat temporal dan kontekstual.
Situasi sosial budaya dan alam lingkungan semakin lama semakin terus berubah dan berkembang. Dengan semakin jauh terpisahnya hadits dari situasi sosial yang melahirkannya, maka sebagian hadits Nabi terasa tidak komunikatif lagi dengan realitas kehidupan sosial saat ini. Karena itu pemahaman atas hadits Nabi merupakan hal yang mendesak, tentu dengan acuan yang dapat dijadikan sebagai standarisasi dalam memahami hadits. Realitanya hadits Nabi banyak dipahami secara tekstual, bahkan belakangan gejala ini muncul dikalangan generasi muda islam, tidak saja di Indonesia, tetapi juga banyak di Negara Islam lainnya. Pendekatan terhadap sebagian hadits Nabi merupakan suatu keharusan yang tidak selamanya mampu memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan yang muncul belakangan, bahkan menjadi suatu kontradiktif sehingga memalingkan kepercayaan terhadap hadits Nabi. Karena pemahaman seperti ini maka sebagian sarjana-sarjana muslim lantas menyerang hadits yang tampak kontradiktif dan tidak komunikatif dengan zaman. Meskipun ulama hadits menyatakan bahwa hadits tersebut dilihat dari kaidah-kaidah ilmu hadits yang demikian ketat, validitasnya diakui dan makbul (shahih).
Karena itu upaya atau pengkajian terhadap konteks-konteks hadits merupakan aspek yang sangat penting dalam menangkap makna hadits yang akan diamalkan. Sayangnya, menurut Afif Muhammad (Afif Muhammad, 1992: 25), pendekatan kontekstual atas hadits Nabi SAW, belum begitu memperoleh perhatian.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana cara memahami teks-teks hadits Rasulullah SAW secara tekstual maupun kontekstual?
2.      Mengapa teks hadits harus dipahami secara tekstual dan atau secara kontekstual?
3.      Contoh hadits yang dilengkapi dengan pemahaman secara tekstual dan kontekstual


BAB II
PEMBAHASAN

1.      Cara Memahami Teks-teks Hadits Rasulullah SAW secara Tekstual maupun Kontekstual
A.    Memahami Hadits secara Tekstual dan Kontekstual
            Pemahaman secara tekstual dilakukan  bila hadits yang bersangkutan setelah dihubungkan dengan segi-segi yang berkaitan dengannya, misalnya latar belakang terjadinya, tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadits yang bersangkutan sehingga pemahamannya secara kontekstual dilakukan dibalik teks suatu hadits. Ada petunjuk kuat yang mengharuskan untuk dipahami tidak sebagaimana maknanya yang tersurat (tekstual).[1]
Adapula hadits Nabi yang pemahamannya hanya bisa dipahami secara kontekstual. Sedangkan kalau dipahami secara tekstual dirasa kurang tepat dalam pemaknaannya.
Untuk memahami hadits dengan tekstual ataupun kontekstual kita bisa melihat dari sisi matan hadits, yang mana ungkapan matan hadits mempunyai beberapa corak atau model, diantaranya:[2]
a.      Jawami’ al kalim (ungkapan singkat namun padat maknanya).
Contoh: اَلْحَرْبُ خُدْعَـــــــــــة  
Artinya: “Perang itu siasat.” (Hadits Riwayat Bukhori Muslim dan lain-lain, dari Jabir bin Abdullah). Pemahaman terhadap hadits tersebut sejalan dengan teksnya, yakni bahwa setiap perang pastilah memakai siasat.
وَكُلُّ  مُسْـــكِرٍ حَـــرَامٌ      كُلُّ  مُسْـــكِرٍ  خَمْرٌ
Artinya: “Setiap minuman yang memabukkan adalah khomr dan setiap (minuman) yang memabukkan adalah haram.” (Hadits Riwayat Bukhori Muslim dan lain-lain dari Ibnu ‘Umar dengan lafal dari riwayat muslim). Hadits tersebut secara tekstual memberi petunjuk bahwa keharaman khomr tidak terikat oleh waktu dan tempat. Dalam hubungannya kebijaksanaan dakwah, dispensasi kepada orang-orang tertentu diperbolehkan.
b.      Bahasa tamsil (perumpamaan)
Contoh:  الَدُّنْيَا  سِجْنُ  اْلمُؤْمِنِ  وَجَنَّةُ   اْلكَافِرِ                             
Artinya: “Dunia itu penjaranya orang yang beriman dan surganya orang kafir.” (Hadits Riwayat Muslim, al-Turmudzi, Ibnu Majah dan Ahmad bin Hambal, dari Abu Hurairah). Pemahaman yang lebih tepat terhadap petunjuk hadits diatas adalah pemahaman secara kontekstual, bahwa kata penjara dalam hadits itu memberi petunjuk adanya perintah berupa kewajiban dan anjuran, disamping ada larangan berupa hukum haram dan makruh. Ibarat penghuni penjara maka dibatasi hidupnya oleh berbagai perintah dan larangan. Bagi orang kafir, dunia ini adalah surga sebab dalam menempuh hidup, dia bebas dari perintah dan larangan.
c.       Ungkapan simbolik
الْمُؤْمِنُ يَأْكُلُ فِيْ مِعًى وَاحِدٍ وَاْلكَاِفرُ يَأكُلُ فِيْ سَبْعَةِ أَمْعَـــاء

Artinya: “Orang yang beriman itu makan dengan satu usus (perut), sedang orang kafir makan dengan tujuh usus.” (Hadits Riwayat al-Bukhori, al-Turmudzi dan Ahmad, dari Ibnu ‘Umar).
      Secara tekstual hadits tersebut tersebut menjelaskan bahwa usus orang beriman berbeda dengan orang kafir. Padahal dalam kenyataan yang lazim, perbedaan anatomi tubuh manusia tidak disebabkan oleh perbedaan iman. Dengan demikian, pernyataan hadits itu merupakan ungkapan simbolik. Itu harus dipahami secara kontekstual yaitu menunjukkan perbedaan sikap atau pandangan dalam menghadapi nikmat Allah. Orang mukmin memandang makan bukan tujuan hidup sedangkan orang kafir memandang makan adalah sebagian dari tujuan hidup. (Syuhudi Ismail,1994:17).
d.      Bahasa percakapan (dialog)
Seperti empat macam matan hadits yang menjelaskan amal-amal yang lebih utama atau lebih baik itu ternyata banyak. (Syuhudi Ismail:1994:18-20)
e.       Ungkapan analogi
Seperti sebuah hadits yang menjelaskan bahwa menyalurkan hasrat seksual (kepada wanita yang halal) adalah sedekah. Atas pernyataan Nabi itu, para sahabat bertanya “Apakah menyalurkan hasrat seksual kami (kepada isteri-isteri kami) mendapat pahala?” Nabi menjawab: Bagaimanakah pendapatmu sekiranya hasrat seksual (seseorang) disalurkannya di jalan haram, apakah (dia) menanggung dosa? Maka demikianlah, bila hasrat seksual disalurkan ke jalan yang halal, dia mendapat pahala. (Hadits Riwayat Muslim dari Abu Dzar).

B.     Beberapa Petunjuk dan Ketentuan Umum untuk Memahami Hadits[3]
1.      Memahami hadits sesuai petunjuk Al-Qur’an
Untuk dapat memahami hadits dengan pemahaman yang benar, jauh dari penyimpangan, pemalsuan, dan penafsiran yang buruk maka haruslah kita memahaminya sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an, yaitu dalam kerangka bimbingan Ilahi yang pasti benarnya dan tidak diragukan keadilannya. Jika Al-Qur’an merupakan dasar yang pertama dan utama, maka hadits adalah penjelasan terperinci tentang isi konstitusi tersebut.
Misalnya hadits mengenai hukum rajam yang memang pernah ada dan diberlakukan oleh Nabi Muhammad, jika diteliti lebih lanjut, materi hadits-hadits rajam itu sendiri dikaitkan dengan hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, ternyata hal itu tidak sesuai bahkan bertentangan dengan Al-Qur’an. Hadits rajam memuat hukuman bagi laki-laki dan perempuan yang berzina muhsan adalah rajam (dilempari batu atau sejenisnya sampai mati). Jika ketentuan ini dikaitkan dengan ketentuan surat An-Nisa’:25 yang berisi hukum hamba wanita yang telah kawin dan berbuat zina adalah setengah dari hukuman wanita yang merdeka yang telah menikah. Maka ketentuan hukum rajam (mati) bagi hamba wanita tidak mungkin dilakukan, bagaimana mungkin hukuman mati bisa dibagi dua. Akan tetapi, jika surat An-Nisa’:25 dikaitkan dengan surat An-Nur :2 (yang menerangkan bahwa hukuman bagi pezina adalah masing-masing didera 100 kali) maka dapat diperoleh hasil yakni 100 kali deraan bagi wanita merdeka dan 50 deraan bagi wanita hamba sahaya.
Dari sini dapat disimpulkan, meskipun hadits rajam shahih dan pelaksanaannya pernah diterapkan Nabi, tetapi melalui telaah historis, hadits tersebut telah dimansukh oleh Al-Qur’an surat An-Nur ayat 2. Sehingga hadits ini tidak bisa diberlakukan lagi.
2.      Menghimpun hadits-hadits yang terjalin dalam tema yang sama
Untuk berhasil memahami As-Sunnah atau hadits secara benar kita harus menghimpun semua hadits shahih yang berkaitan dengan suatu tema tertentu. Dengan cara itu dapatlah dimengerti maksudnya dengan jelas dan tidak dipertentangkan antara hadits yang satu dengan yang lainnya. Seringkali nabi menelurkan sabdanya dengan memperhatikan keadaan yang beliau hadapi itu kepada seseorang yang menanyakan. Misalnya tentang perbuatan terbaik dan disukai Allah, Nabi menjawab sesuai dengan keadaan pada waktu dan siapa yang bertanya. Jawaban yang dapat direkam atas pertanyaan yang sama tersebut adalah:
a.       Amal yang baik adalah sholat tepat pada waktunya
b.      Amal yang baik dan disukai Allah adalah membaca Al-Qur’an sepanjang waktu
c.       Amal yang paling utama adalah menahan diri dari mengganggu dan menyakiti manusia
d.      Amal yang paling utama adalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya
e.       Amal yang paling baik adalah member makan kepada fakir miskin dan memberikan salam kepada siapa saja.
Dari kelima arti matan hadits yang dikutip diatas dapatlah dipahami bahwa yang termasuk lebih utama itu ternyata bermacam-macam. Dalam pada itu, dapat pula dipahami bahwa untuk pertanyaan-pertanyaan yang sama (senada), ternyata dapat saja jawabannya berbeda-beda. Perbedaan materi jawaban sesungguhnya tidaklah bersifat substantif. Yang substantif adalah relevasi antara keadaan orang yang bertanya dan materi jawaban yang diberikan.

3.      Penghubungan atau Pentarjihan antara hadits-hadits yang (tampaknya) bertentangan
Pada dasarnya nash-nash syari’at tidak mungkin saling bertentangan. Sebab kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Karena itu, apabila diandaikan juga adanya pertentangan maka hal itu hanya dalam tampak luarnya saja bukan dalam kenyataan yang hakiki.
Apabila penghilangan itu dapat dihapus dengan cara menggabungkan atau menyesuaikan antara kedua nash, tanpa harus memaksakan atau mengada-ada sehingga kedua-duanya dapat diamalkan, maka yang demikian itu lebih utama daripada harus mentarjihkan antara keduanya. Sebab pentarjihan berarti mengabaikan salah satu dari keduanya sementara mengutamakan yang lain.
Misalnya, hadits yang berisi larangan buang hajat menghadap kiblat ataupun membelakanginya. Namun dalam hadits yang lain dinyatakan bahwa Nabi pernah membuang hajat menghadap ke Baitul Maqdis, yang berarti membelakangi kiblat. Dengan demikian secara tekstual petunjuk kedua hadits tampak bertentangan.
Menurut penelitian ulama hadits, petunjuk kedua hadits tersebut tidak bertentangan. Larangan Nabi berlaku bagi yang mebuang hajat di lapangan terbuka, sedang yang melakukan buang hajat di tempat tertutup, misalnya WC, larangan tidak berlaku. Penyelesaian dalam hal ini ditempuh dengan metode al-jam’u.
4.      Memahami hadits dengan mempertimbangkan latar belakangnya, situasi dan kondisi ketika diucapkan
Adakalanya suatu hadits berkaitan erat dengan keadaan yang sedang terjadi. Keadaan tersebut tidak termuat dalam matan hadits yang bersangkutan. Untuk mengkaji lebih khusus tentang pemahaman hadits yang berkaitan dengan keadaan yang sedang terjadi atau berkembang, berikut ini dikemukakan contoh matan hadits. Misalnya, hadits tentang melukis:
اِنَّ اَشدَّالنَّاسِ عَذَابًا عِنْدَاللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ المُصَّوِّرُوْنَ
(رواه البخارى ومسلم وغيرهما عن عبدالله بن مسعود)
Sesungguhnya orang-orang yang menerima siksaan yang paling dahsyat di hadirat Allah pada hari kiamat kelak adalah pelukis.”
      Secara tekstual hadits tersebut memberikan pengertian larangan untuk melukis, bahkan dalam hadits lain para pelukis di hari kiamat kelak dituntut untuk memberikan nyawa kepada apa yang dilukiskannya di dunia. Malaikat juga tidak akan masuk rumah yang didalamnya ada lukisannya. Larangan melukis dan memajang lukisan yang dikemukakan Nabi itu sesungguhnya  mempunyai latar belakang hukum (illat al-hukum). Pada zaman nabi, masyarakat belum lama terlepas dari kepercayaan menyekutukan Allah, yakni penyembahan patung dan semacamnya. Dalam kepastiannya sebagai Rasulullah, Nabi Muhammad berusaha keras agar umat islam terlepas dari kemusyrikan tersebut. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan mengeluarkan larangan memproduksi dan memajang lukisan.
      Kalau illat al hukumnya demikian, maka pada saat umat islam tidak lagi dikhawatirkan terjerumus ke dalam kemusyrikan, khususnya dalam bentuk penyembahan terhadap lukisan, maka membuat dan memajangnya diperbolehkan. Kaidah ushul fiqh menyatakan, hukum itu ditentukan oleh illatnya (latar belakangnya), bila illatnya ada maka hukumnya ada. Dan bila illatnya sudah tidak ada, maka hukumnya juga tidak ada.
5.      Membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan yang bersifat majaz/kiasan[4]
Ungkapan dalam bentuk majaz atau kiasan banyak sekali digunakan dalam bahasa arab. Dalam ilmu balaghah dinyatakan bahwa ungkapan dalam bentuk majaz, lebih terkesan daripada ungkapan dalam bentuk biasa. Sedangkan Rasulullah SAW adalah seorang yang berbahasa arab yang paling menguasai balaghah. Maka tak mengherankan apabila dalam hadits-hadits beliau banyak menggunakan majaz, yang mengungkap maksud beliau dengan cara sangat mengesankan.
Misalnya hadits:
اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا (رواه البخارى ومسلم وغيرهما)
Orang yang beriman terhadap orang yang beriman lainnya ibarat bangunan, bagian yang satu memperkokoh bagian yang lainnya.”
      Hadits nabi tersebut mengemukakan tamsyil tasybih bagi orang-orang yang beriman sebagai bangunan. Tasybih tersebut sangat berlaku tanpa terikat waktu dan tempat. Sebab setiap bangunan pastilah bagiannya berfungsi memperkokoh bagian-bagian lainnya dan tidak berusaha saling menjatuhkan..
6.      Memahami hadits nabi yang berupa ungkapan simbolik
Sebagaimana halnya dalam Al-Qur’an, dalam hadits Nabi juga dikenal adanya ungkapan yang berbentuk simbolik. Penetapan bahwa ungkapan satu ayat ataupun satu hadits berbentuk simbolik adakalanya mengundang perbedaan pendapat. Bagi yang berpegang pada kenyataan secara tekstual, maka ungkapan yang bersangkutan dinyatakan bukan sebagai simbolik.
Misalnya hadits yang berbunyi:
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالى كُلَّ لَيْلَةٍ اِلَى السَّمَاءِالدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ الَّيْلِ الْاَخِرِ يَقُوْلُ:مَنْ يَدْعُوْنِيْ فَاَسْتَجِبُ لَهُ مَنْ يَسْأَلَنِيْ فَاُعْطِيْهِ مَنْ يَسْتَغْفِرْنِي فَاَغْفِرُلَهُ
Tuhan kita (Allah) Tabaroka Wa Ta’ala turun ke langit dunia pada saat malam dipertiga akhir (Allah) berfirman, “Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan doanya itu, barangsiapa meminta (sesuatu) kepada-Ku niscaya aku memberinya, (dan) barangsiapa minta ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampuninya.
Ulama yang memahami petunjuk hadits secara tekstual berpendapat bahwa matan hadits tersebut berkualitas lemah (dhaif) bahkan palsu sebab Allah digambarkan naik turun langit dunia. Itu berarti, Allah disamakan dengan makhluk. Padahal matan hadits tersebut berkualitas shahih bila dipahami secara kontekstual.
Maksud matan hadits yang mnyebutkan bahwa Allah turun ke langit dunia adalah limpahan rahmat-Nya. Malam pertiga akhir dipilih karena saat yang demikian itu adalah saat yang mudah untuk memperoleh suasana khusyu’ dalam berdo’a dan beribadah shalat dalam keadaan yang penuh kekhusyukan itu, maka kehadiran limpahan rahmat Allah mudah diperoleh.
7.      Memahami hadits dengan mempertimbangkan sebab secara khusus (asbabul wurud) jika ada.
Secara etimologis, “asbabul wurud” merupakan susunan idhafah yang berasal dari kata “asbab” jamak dari “sabab” yang berarti “segala sesuatu yang dapat menghubungkan kepada sesuatu yang lain” atau “penyebab terjadinya sesuatu”. Sedangkan “wurud” merupakan isim masdar dari “warada, yaridu, wurudan” yang berarti datang atau sampai. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa asbabul wurud adalah konteks historisitas, baik berupa peristiwa atau pertanyaan atau lainnya yang terjadi pada saat hadits itu disampaikan.
Memahami hadits dengan memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi diucapkannya suatu hadits sangat penting.
   Contoh: اَنْتُمْ اَعْلَمُ بِاُمُرِالدُّنْيَاكُمْ (رواه مسلم عن أنس)
“Kamu sekalian lebih mengetahui tentang urusan duniamu.” (HR. Muslim dari Anas)
      Hadits tersebut mempunyai asbabul wurud (sebab mendahuluinya terjadinya hadits). Pada suatu saat, Nabi lewat dihadapan para petani yang sedang mengawinkan serbuk (kurma pejantan) ke putik (kurma betina). Nabi berkomentar: “Sekiranya kamu sekalian tidak melakukan hal itu, niscaya kurmamu akan lebih baik.” Mendengar komentar itu, para petani lalu tidak lagi mengawinkan kurma mereka. Setelah beberapa lama, Nabi lewat kembali ketempat itu dan dan menegur para petani: “Mengapa pohon kurma itu?” Para petani lalu melaporkan apa yang telah dialami kurma mereka, yakni banyak yang tidak jadi. Mendengar keterangan mereka itu, Nabi lalu bersabda sebagaimana dikutip diatas.
      Banyak kalangan yang memahami hadits terebut secara tekstual. Mereka mengatakan bahwa Nabi tidak banyak mengetahui tentang urusan dunia itu kepada para sahabat (umat islam). Adapun yang berpendapat bahwa berdasarkan petunjuk  hadits itu, maka islam membagi kegiatan hidup yakni kegiatan dunia dan kegiatan agama. Padahal dalam sejarah, Nabi adalah urusan dunia disamping sebagai urusan agama. Nabi juga berdagang dan berhasil. Dan berdagang adalah urusan dunia.
      Jadi hadits tersebut, sesungguhnya tidaklah menyatakan bahwa Nabi sama sekali buta terhadap urusan dunia. Kata dunia yang temuat dalam hadits tersebut lebih tepat diartikan sebagai profesi atau bidang keahlian. Dengan demikian, maksud hadits itu adalah bahwa Nabi tidak memiliki keahlian sebagai petani, karena para petani lebih mengetahui tentang dunia pertanian daripada Nabi.
C.     Istilah Kontekstual
                  Kata “kontekstual” barasal dari “konteks” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung dua arti: 1) bagian sesuatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna; 2) situasi yang ada hubungan dengan suatu kejadian. Kedua arti ini dapat digunakan karena tidak terlepas istilah dalam kajian pemahaman hadits.[5]
                  Secara garis besar ada dua tipologi pemahaman ulama atas hadits:[6]
a.    Pemahaman atas hadits tanpa memperdulikan proses sejarah yang melahirkannya. Tipologi ini dapat disebut Tektualis. Atau menurut Suryadi tektualis adalah sebuah istilah yang dinisbatkan pada ulama yang dalam memahami hadits cenderung memfokuskan pada data riwayat yang menekankan kupasan dari sudut gramatikal bahasa.
b.   Pemahaman kritis dengan mempertimbangkan asal-usul (asbab al-wurud) hadits. Tentu saja mereka memahami hadits secara kontekstual. Berkaitan dengan pemahaman dengan pendekatan kontekstual, para sahabat sudah mulai melakukannya, bahkan ketika Nabi masih hidup.

2.      Alasan Teks Hadits Harus Dipahami secara Tekstual dan atau secara Kontekstual
A.    Dasar-dasar Tekstualisasi dan kontekstualisasi
Ada beberapa alasan mengapa kontekstualisasi menjadi sebuah keniscyaan. Menurut M. Sa’ad alasan-alasan tersebut adalah:[7]
1.      Masyarakat yang dihadapi Nabi Muhammad SAW, bukan sama sekali kosong dari pranata-pranata kultural yang tidak dinafikan semuanya oleh kehadiran nas-nas yang menyebabkan sebagian bersifat tipikal, misalnya pranata dzihar
      "انت علي كظهر أمي (bagiku engkau bak punggung ibuku). Ungkapan tersebut hanya berlaku dalam konteks budaya arab, jika ditransfer dalam budaya keindonesiaan maka jelas maknanya berbeda.
2.      Dalam keputusan Nabi sendiri telah memberikan gambaran hukum yang berbeda dengan alasan “situasi dan kondisi”. Misalnya tentang ziarah kubur, yang semula dilarang karena kekhawatiran terjebak kepada kekufuran dan setelah dipandang masyarakat cukup mengerti akhirnya diperbolehkan.
3.      Peran sahabat sebgai pewaris Nabi yang paling dekat sekaligus memahami dan menghayati hadits nabi dengan risalah yang diembannya telah mencontohkan kontekstualisasi nash (teks). Misalnya Umar bin khattab pernah menyatakan bahwa hukum talak tiga dalam sekali ucap yang asalnya jatuh satu talak menjadi tiga talak.
4.      Implementasi pemahaman terhadap nash (teks) secara tekstual sering kali tidak sejalan dengan kemaslahatan yang justru menjadi reason d”etre kehadiran islam itu sendiri.
5.      Pemahaman tekstual secara membabi buta berarti mengingkari adanya hukum perubahan dan keanekaragaman yang justru diintroduksi oleh nash itu sendiri.
6.      Pemahaman secara kontekstual yang merupakan jalan menemukan moral ideal nash berguna untuk mengatasi keterbatasan teks berhadapan dengan kontinuitas perubahan ketika dilakukan perumusan legak spesifik yang baru.
7.      Penghargaan terhadap aktualisasi intelektual manusia lebih dimungkinkan pada upaya pemahaman teks-teks islam secara kontekstual sebagai trademark islam itu agama rasional dan intelektual.
8.      Kontekstualisasi pemahaman teks-teks islam mengandung makna bahwa masyarakat dimana dan kapan saja selalu dipandang positif, optimis oleh islam yang dibuktikan dengan sikap khasnya yang akomodatif terhadap pranata sosial yang ada (maslahat) yang terumuskan dalam kaidah “al-‘aadatu Muhkamatun” (tradisi itu dipandang legal).
9.      Keyakinan bahwa teks-teks islam adalah petunjuk terakhir dari langit yang berlaku sepanjang masa, mengandung makna bahwa didalam teks yang terbatas tersebut memiliki dinamika internal yang sangat kaya, yang harus terus menerus dilakukan eksternalisasi melalui interprestasi yang tepat.

B.     Batas-batas tekstualisasi dan kontekstualisasi
            Batasan kontekstualisasi meliputi dua hal, yaitu:
1.      Dalam ibadah mahdhoh (murni)
Jika ada penambahan dan pengurangan untuk penyesuaian terhadap situasi dan kondisi, maka hal tersebut adalah bid’ah.
2.      Bidang diluar ibadah murni
Kontekstualisasi dilakukan dengan tetap berpegang pada moral ideal nash,untuk selanjutnya dirumuskan legal spesifik baru yang menggantikan legal spesifik lamanya.
Sedangkan menurut Suryadi, batasan-batasan tekstual (normatif) meliputi:
1.      Ide moral/ide dasar/tujuan dibalik teks (tersirat). Ide ini ditentukan dari makna yang tersirat dari balik teks yang sifatnya universal, lintas ruang waktu dan intersubjektif.
2.      Bersifat absolute, prinsip, universal, fundamental.
3.      Mempunyai visi keadilan, kesetaraan, demokrasi, mu’asyaroh bil ma’ruf.
4.      Terkait relasi antara manusia dan Tuhan yang bersifat universal, artinya segala sesuatu yang dapat dilakukan siapapun, kapanpun, dan dimanapun tanpa  terpengaruh oleh letak geografis, budaya dan historis tertentu.
Adapun batasan-batasan kontekstual (historis) mencakup:
a.       Menyangkut bentuk atau sarana yang tertuang secara tekstual. Dalam hal ini tidak seseorang untuk mengikuti secarasaklek (apa adanya). Sehingga bila ingin mengikuti Nabi tidak harus berbahasa arab, memberi nama arabisme, berpakaian gamis ala timur tengah dan sebagainya. Karena itu produk budaya yang tentu secara dzahir antara setiap wilayah berbeda.
b.      Aturan yang menyangkut manusia sebagai makhluk individu dan biologis.  Jika Rasulullah makan hanya menggunakan tiga jari, maka kita tidak harus mengikuti dengan tiga jari, karena konteks yang dimakan Rasulullah kurma atau roti.
c.       Aturan yang menyangkut manusia sebagai makhluk sosial, bagaimana manusia berhubungan dengan sesama, alam sekitar serta makhluk hidup lainnya.
d.      Terkait masalah sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dimana kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya yang sedemikian kompleks. Maka kondisi zaman Nabi tidak bisa dijadikan parameter.[8]

3.      Contoh Hadits yang Dilengkapi dengan Pemahaman secara Tekstual dan Kontekstual
Adapun contoh haditsnya adalah sebagai berikut:
1.                     Al-Bukhori dalam kitabnya Shahih al-Bukhori Bab Fi al-Amal wa Thuluhu, mencantumkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud. Matan haditsnya member informasi secara tekstual mengenai sketsa kehidupan yang pernah digambarkan langsung oleh Nabi dihadapan sahabat,yang dituturkan dalam khabarnya sebagai berikut ini:[9] 

             “Dari Abdullah ibn Mas’ud r.a. dia berkata , “Nabi SAW membuat gambar segi empat. Kemudian menggambar sebuah garis lurus memanjang hingga keluar dari garis kotak segi empat. Lalu Nabi menggambar garis-garis kecil melintasi garis lurus yang memanjang di tengah kotak segi empat. Lalu Nabi SAW menjelaskan (maksud gambar): Ini manusia, dan garis-garis persegi itu kurungan ajalnya, sedang garis panjang yang keluar dari batas itu angan-angan/cita-citanya. Adapun garis-garis kecil itu adalah tantangan atau rintangan yang selalu menantang manusia (untuk menghadapinya). Maka apabila manusia lolos dari satu tantangan maka akan berhadapan dengan tantangan yang berikutnya, dan apabila dia lolos dari satu tantangan lagi maka akan berhadapan dengan tantangan yang lain berikutnya.” Inilah kata Ibnu Mas’ud – gambaran yang digoreskan Nabi SAW. (HR.al-Bukhori)
                    Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud r.a. diatas, secara tekstual berisi visualisasi kehidupan dan bagaimana tepatnya sikap kita menghadapi suatu tantangan kehidupan. Terdapat tiga persoalan yang dalam menurut paparan hadits itu dihadapi manusia dalam kehidupan. Pertama, persoalan mengenai batas waktu ajal kehidupan manusia. Kedua, persoalan tentang rentang panjangnya waktu untuk cita-cita yang dapat dibuat manusia dalam kehidupan. Ketiga, persoalan tentang problema atau tantangan yang dihadapi dalam kehidupan.
Tiga persoalan pokok ini disampaikan oleh Nabi SAW dihadapan para sahabat yang tetap relevan untuk kita pegangi dalam menjalani kehidupan sekarang dan ke depan.
Dalam konteks ini, terbuka cakrawala manusia untuk mengikhtiarkan menurut jangkauan akalnya. Diluar itu, kita tentu menghadapi ketentuan Dzat Yang Maha Penentu, Yang Maha Mengetahuiapa yang akan terjadi bagi hamba pada hari esoknya. Dialah pemilik rahasia utama ajal, yang biasanya dapat menjadi penyelesai ‘keangkuhan’ manusiadari teka teki panjang pendeknya usia. Mungkin saja, manusia itu pada hari kemarin masih segar yang tak ada seorangpun curiga akan ditinggalkan olehnya, namun ajal diatas segala sebab bisa tiba-tiba datang.
Tentang cita-cita, manusia rupanya memang mempunyai daya khayal yang jauh ke depan. Dari sekian banyak makhluk, manusialah yang terbukti mampu merencanakan aktivitas untuk masa depan. Bahkan, mereka dapat menciptakn suasana untuk merekayasa masa depan yang gemilang yang diangankan bagi hidup kemanusiaan. Dari banyaknya imajinasi yang bisa dirancang manusia, maka gambar daya khayal itu jauh melebihi panjang segi empat yang merupakan batas masa kehidupan yang bisa dilaluinya.
Selanjutnya tantangan kehidupan, adalah sesuatu yang minta ditanggulangi, atau objek yang menggugah tekad untuk meningkatkan kemampuan mengatasi masalah. Tantangan kehidupan tetap minta diatasi oleh setiap manusia yang ingin eksis dalam kehidupan. Tantangan kehidupan masa kini cukup kompleks bukan sekadar persoalan sakit atau meninggal. Semua dituntut menemukan jawabannya.
2.      Sikap Aisyah r.a. ketika mendengar hadits yang menyatakan bahwa orang mati diazab karena tangisan keluarganya terhadapnya. Ia menolaknya, bahkan kemudian bersumpah bahwa Nabi SAW tidak pernah mengucapkan ‘hadits’ tersebut. Bahkan ia kemudian menjelaskan alasan penolakannya dengan berkata: “Adakah kalian lupa akan firman Allah SWT, Tidaklah seseorang menanggung dosa orang lain (Al-An’am:164)
Demikianlah sikap Aisyah dengan tegas dan berani telah menolak periwayatan suatu ‘hadits’ yang bertentangan dengan Al-Qur’an. Walaupun begitu, ‘hadits’ yang tertolak ini masih saja tercantum dalam kitab-kitab ‘shahih’. Bahkan Ibn Sa’d, dalam bukunya Ath-Thabaqat Al-Kubra, mengulang-ulangnya dengan beberapa sanad yang berbeda.
Yang hendak ditegaskan oleh Aisyah ialah bahwa sabda Rasulullah SAW ialah: “Sesungguhnya orang kafir akan beroleh (tambahan) siksaan disebabkan tangis keluarganya terhadapnya.”[10]
3.      Sikap keras orang-orang yang dengan tegas menolak mengeluarkan zakat fitrah dengan uang, sebagaimana madzhab Imam Abu Hunaifah dan pengikutnya sebgaian juga yang dipegang oleh Umar Ibn Abd al-Aziz dan fuqaha salaf. Alasan mereka adalah karena Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat ada jenis makanan-makanannya tertentu; yaitu kurma,, kismis dan gandum, hal itu harus dilakukan dan tidak boleh menentang sunnah dengan logika.
                    Rasulullah SAW sangat memperhatikan kondisi lingkungan dan waktu, Rasulullah mewajibkan zakat fitrah dengan makanan yang dimiliki masyarakat, yaitu bahan makanan yang lebih memudahkan bagi orang yang memberi dan lebih bermanfaat bagi orang yang menerima.
4.      Hadits tentang keharusan mahram bagi wanita ketika bepergian, Ibnu Hibban menyatakan:
“Al-Hasan Ibnu Sufyan telah mengkhabarkan kepada kami dia berkata: Muhammad ibnu ‘Abd Allah ibn Namir telah menceritakan kepada kami dia telah telah berkata: Bapakku telah menceritakan kepada kami dia berkata: ‘Ubaid Allah ibnu ‘Umar telah menceritakan kepada kami dari Nafi’: dari Ibnu ‘Umar sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Seorang perempuan dilarang bepergian, kecuali dengan mahramnya.”
                    Hadits diatas jika dipahami secara tekstual (lafdziyah) akan dapat dipahami bahwa seorang perempuan tidak boleh keluar rumah baik untuk bekerja atau keperluan lain tanpa bersama mahramnya. Tentu akan menyulitkan perempuan pada saat ini. Tetapi apabila hadits itu dipahami melalui konteksnya , maka alasan dibalik larangan itu adalah kekhawatiran akan keselamatan perempuan yang bepergian tanpa mahram. Ketika itu sarana transportasi antara lain adalah unta, keledai. Mereka biasanya menempuh perjalanan melalui padang pasir dan daerah-daerah sepi yang tidak berpenghuni. Berdasarkan latar belakang kondisi alam saat itu larangan wanita keluar rumah adalah bersifat kondisional.
5.      Apabila bulan Ramadhan datang, maka pintu-pintu surga terbuka dan pintu-pintu neraka terkunci dan para setan dibelenggu.”
Pemahaman secara tekstual terhadap hadits diatas menyatakan bahwa karena bulan Ramadhan hal diatas terjadi. Pemahaman itu menonjolkan keutamaan bulan Ramadhan saja, tanpa menyetarakan berbagai amal yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang beriman pada bulan Ramadhan tersebut.
Sekiranya kata-kata dibelenggu dalam hadits tersebut diartikan secara fisik dan penyebab dibelenggunya semua setan itu adalah bulan Ramadhan, niscaya tidak ada orang yang berbuat maksiat. Pada kenyataannya di bulan Ramadhan masih banyak orang yang melakukan maksiat.


BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP

A.    KESIMPULAN
1.      Pemahaman dan penerapan hadits secara tekstual dilakukan bila hadits yang bersangkutan, setelah dihubungkan dengan segi-segi yang berkaitan dengannya misalnya, latar belakang terjadinya tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadits yang bersangkutan atau tekstual.
2.      Pemahaman dan penerapan hadits dilakukan secra kontekstual dilakukan bila “dibalik” teks sesuai hadits, ada petunjuk kuat yang mengharuskan hadits yang bersangkutan dipahami dan diterapkan tidak sebagaimana yang tekstual (tersurat) namun harus dimaknai secara kontekstual (tersirat).
3.      Beberapa petunjuk dan ketentuan umum untuk memahami hadits:
a.       Memahami hadits sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an
b.      Menghimpun hadits-hadits yang terjalin dalam tema yang sama
c.       Penggabungan atau pentarjihan antara hadits-hadits yang (tampaknya) bertentangan
d.      Memahami hadits dengan mempertimbangkan situasi dan kondisinya ketika diucapkan
e.       Membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya yang bersifat majas/tamsil/kiasan.
f.       Memahami hadits Nabi yang berupa ungkapan simbolik
g.      Memahami hadits dengan mempertimbangkan sebab secara khusus (asbabul wurudnya) jika ada.

B.     PENUTUP
Demikianlah makalah kami, kami menyadari makalah kami ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami harapkan kritik dan saran yang membangun dari teman-teman sekalian beserta dosen mata kuliah. Sehingga kami bisa memperbaiki makalah selanjutnya. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiiinn






DAFTAR PUSTAKA

Dedikbud RI.1998.Kamus Besar bahasa Indonesia.Jakarta:Balai Pustaka
Al-Ghazali, Syaikh Muhammad.1992. “Studi Kritis atas Hadits Nabi antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual”. Bandung:Mizan
Soebahar, Prof.Dr.H.M. Erfan.2008. “Aktualisasi Hadits Nabi di Era Teknologi Informasi” . Semarang:RaSAIL Media Group








[5] Dedikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1998), hal.245
[9] Dr. Muhyar Fanani, M.Ag, Aktualisasi Hadits nabi di Era Teknologi Informasi, (Semarang:RaSAIL Media Group,2008), hal 172-177
[10] Syaikh Muhammad al-Ghazali, Studi kritis atas Hadis Nabi antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, (Bandung:Mizan, 1992), hal 29-30

1 komentar: