BAB 1
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Dalam Hubungannya sebagai sumber pokok ajaran islam,
hadits pada umumnya lebih merupakan penafsiran kontekstual dan situasional atas
ayat-ayat Al-Qur’an dalam merespon pertanyaan para sahabat Nabi. Dengan
demikian hadits merupakan interprestasi Nabi SAW yang dimaksudkan untuk menjadi
acuan bagi para sahabat dalam
mengamalkan ayat-ayat Al-Qur’an. Karena kondisi sahabat dan latar belakang
kehidupannya berbeda, maka petunjuk-petunjuk yang diberikan Nabi berbeda pula.
Pada sisi lain, para sahabat pun memberikan interprestasi yang berbeda terhadap
hadits Nabi. Dari sini, maka pada umumnya bersifat temporal dan kontekstual.
Situasi sosial budaya dan alam lingkungan semakin
lama semakin terus berubah dan berkembang. Dengan semakin jauh terpisahnya
hadits dari situasi sosial yang melahirkannya, maka sebagian hadits Nabi terasa
tidak komunikatif lagi dengan realitas kehidupan sosial saat ini. Karena itu
pemahaman atas hadits Nabi merupakan hal yang mendesak, tentu dengan acuan yang
dapat dijadikan sebagai standarisasi dalam memahami hadits. Realitanya hadits
Nabi banyak dipahami secara tekstual, bahkan belakangan gejala ini muncul
dikalangan generasi muda islam, tidak saja di Indonesia, tetapi juga banyak di
Negara Islam lainnya. Pendekatan terhadap sebagian hadits Nabi merupakan suatu
keharusan yang tidak selamanya mampu memberikan jawaban terhadap
persoalan-persoalan yang muncul belakangan, bahkan menjadi suatu kontradiktif
sehingga memalingkan kepercayaan terhadap hadits Nabi. Karena pemahaman seperti
ini maka sebagian sarjana-sarjana muslim lantas menyerang hadits yang tampak
kontradiktif dan tidak komunikatif dengan zaman. Meskipun ulama hadits
menyatakan bahwa hadits tersebut dilihat dari kaidah-kaidah ilmu hadits yang
demikian ketat, validitasnya diakui dan makbul (shahih).
Karena itu upaya atau pengkajian terhadap
konteks-konteks hadits merupakan aspek yang sangat penting dalam menangkap
makna hadits yang akan diamalkan. Sayangnya, menurut Afif Muhammad (Afif
Muhammad, 1992: 25), pendekatan kontekstual atas hadits Nabi SAW, belum begitu
memperoleh perhatian.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana
cara memahami teks-teks hadits Rasulullah SAW secara tekstual maupun
kontekstual?
2. Mengapa
teks hadits harus dipahami secara tekstual dan atau secara kontekstual?
3. Contoh
hadits yang dilengkapi dengan pemahaman secara tekstual dan kontekstual
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Cara
Memahami Teks-teks Hadits Rasulullah SAW secara Tekstual maupun Kontekstual
A. Memahami
Hadits secara Tekstual dan Kontekstual
Pemahaman
secara tekstual dilakukan bila hadits
yang bersangkutan setelah dihubungkan dengan segi-segi yang berkaitan
dengannya, misalnya latar belakang terjadinya, tetap menuntut pemahaman sesuai
dengan apa yang tertulis dalam teks hadits yang bersangkutan sehingga
pemahamannya secara kontekstual dilakukan dibalik teks suatu hadits. Ada
petunjuk kuat yang mengharuskan untuk dipahami tidak sebagaimana maknanya yang
tersurat (tekstual).
Adapula hadits Nabi yang pemahamannya hanya bisa
dipahami secara kontekstual. Sedangkan kalau dipahami secara tekstual dirasa
kurang tepat dalam pemaknaannya.
Untuk memahami hadits dengan tekstual ataupun
kontekstual kita bisa melihat dari sisi matan hadits, yang mana ungkapan matan
hadits mempunyai beberapa corak atau model, diantaranya:
a.
Jawami’ al kalim (ungkapan singkat namun padat maknanya).
Contoh: اَلْحَرْبُ خُدْعَـــــــــــة
Artinya: “Perang itu siasat.” (Hadits Riwayat Bukhori Muslim dan lain-lain,
dari Jabir bin Abdullah). Pemahaman terhadap hadits tersebut sejalan dengan
teksnya, yakni bahwa setiap perang pastilah memakai siasat.
وَكُلُّ مُسْـــكِرٍ
حَـــرَامٌ كُلُّ مُسْـــكِرٍ خَمْرٌ
Artinya: “Setiap minuman yang memabukkan adalah khomr
dan setiap (minuman) yang memabukkan adalah haram.” (Hadits Riwayat Bukhori
Muslim dan lain-lain dari Ibnu ‘Umar dengan lafal dari riwayat muslim). Hadits
tersebut secara tekstual memberi petunjuk bahwa keharaman khomr tidak terikat
oleh waktu dan tempat. Dalam hubungannya kebijaksanaan dakwah, dispensasi
kepada orang-orang tertentu diperbolehkan.
b. Bahasa
tamsil (perumpamaan)
Contoh:
الَدُّنْيَا سِجْنُ اْلمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ اْلكَافِرِ
Artinya: “Dunia itu penjaranya orang yang beriman dan
surganya orang kafir.” (Hadits Riwayat Muslim, al-Turmudzi, Ibnu Majah dan
Ahmad bin Hambal, dari Abu Hurairah). Pemahaman yang lebih tepat terhadap
petunjuk hadits diatas adalah pemahaman secara kontekstual, bahwa kata penjara
dalam hadits itu memberi petunjuk adanya perintah berupa kewajiban dan anjuran,
disamping ada larangan berupa hukum haram dan makruh. Ibarat penghuni penjara
maka dibatasi hidupnya oleh berbagai perintah dan larangan. Bagi orang kafir,
dunia ini adalah surga sebab dalam menempuh hidup, dia bebas dari perintah dan
larangan.
c.
Ungkapan simbolik
الْمُؤْمِنُ يَأْكُلُ فِيْ مِعًى وَاحِدٍ
وَاْلكَاِفرُ يَأكُلُ فِيْ سَبْعَةِ أَمْعَـــاء
Artinya: “Orang yang beriman itu makan dengan satu
usus (perut), sedang orang kafir makan dengan tujuh usus.” (Hadits Riwayat
al-Bukhori, al-Turmudzi dan Ahmad, dari Ibnu ‘Umar).
Secara tekstual hadits tersebut tersebut menjelaskan bahwa usus
orang beriman berbeda dengan orang kafir. Padahal dalam kenyataan yang lazim,
perbedaan anatomi tubuh manusia tidak disebabkan oleh perbedaan iman. Dengan
demikian, pernyataan hadits itu merupakan ungkapan simbolik. Itu harus dipahami
secara kontekstual yaitu menunjukkan perbedaan sikap atau pandangan dalam
menghadapi nikmat Allah. Orang mukmin memandang makan bukan tujuan hidup
sedangkan orang kafir memandang makan adalah sebagian dari tujuan hidup.
(Syuhudi Ismail,1994:17).
d. Bahasa
percakapan (dialog)
Seperti
empat macam matan hadits yang menjelaskan amal-amal yang lebih utama atau lebih
baik itu ternyata banyak. (Syuhudi Ismail:1994:18-20)
e. Ungkapan
analogi
Seperti
sebuah hadits yang menjelaskan bahwa menyalurkan hasrat seksual (kepada wanita
yang halal) adalah sedekah. Atas pernyataan Nabi itu, para sahabat bertanya “Apakah menyalurkan hasrat seksual kami
(kepada isteri-isteri kami) mendapat pahala?” Nabi menjawab: Bagaimanakah
pendapatmu sekiranya hasrat seksual (seseorang) disalurkannya di jalan haram,
apakah (dia) menanggung dosa? Maka demikianlah, bila hasrat seksual disalurkan
ke jalan yang halal, dia mendapat pahala. (Hadits Riwayat Muslim dari Abu
Dzar).
B. Beberapa
Petunjuk dan Ketentuan Umum untuk Memahami Hadits
1. Memahami
hadits sesuai petunjuk Al-Qur’an
Untuk
dapat memahami hadits dengan pemahaman yang benar, jauh dari penyimpangan,
pemalsuan, dan penafsiran yang buruk maka haruslah kita memahaminya sesuai
dengan petunjuk Al-Qur’an, yaitu dalam kerangka bimbingan Ilahi yang pasti
benarnya dan tidak diragukan keadilannya. Jika Al-Qur’an merupakan dasar yang
pertama dan utama, maka hadits adalah penjelasan terperinci tentang isi
konstitusi tersebut.
Misalnya
hadits mengenai hukum rajam yang memang pernah ada dan diberlakukan oleh Nabi
Muhammad, jika diteliti lebih lanjut, materi hadits-hadits rajam itu sendiri
dikaitkan dengan hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, ternyata hal itu
tidak sesuai bahkan bertentangan dengan Al-Qur’an. Hadits rajam memuat hukuman
bagi laki-laki dan perempuan yang berzina muhsan adalah rajam (dilempari batu
atau sejenisnya sampai mati). Jika ketentuan ini dikaitkan dengan ketentuan
surat An-Nisa’:25 yang berisi hukum hamba wanita yang telah kawin dan berbuat
zina adalah setengah dari hukuman wanita yang merdeka yang telah menikah. Maka
ketentuan hukum rajam (mati) bagi hamba wanita tidak mungkin dilakukan,
bagaimana mungkin hukuman mati bisa dibagi dua. Akan tetapi, jika surat
An-Nisa’:25 dikaitkan dengan surat An-Nur :2 (yang menerangkan bahwa hukuman
bagi pezina adalah masing-masing didera 100 kali) maka dapat diperoleh hasil
yakni 100 kali deraan bagi wanita merdeka dan 50 deraan bagi wanita hamba
sahaya.
Dari
sini dapat disimpulkan, meskipun hadits rajam shahih dan pelaksanaannya pernah
diterapkan Nabi, tetapi melalui telaah historis, hadits tersebut telah
dimansukh oleh Al-Qur’an surat An-Nur ayat 2. Sehingga hadits ini tidak bisa
diberlakukan lagi.
2. Menghimpun
hadits-hadits yang terjalin dalam tema yang sama
Untuk
berhasil memahami As-Sunnah atau hadits secara benar kita harus menghimpun
semua hadits shahih yang berkaitan dengan suatu tema tertentu. Dengan cara itu
dapatlah dimengerti maksudnya dengan jelas dan tidak dipertentangkan antara
hadits yang satu dengan yang lainnya. Seringkali nabi menelurkan sabdanya
dengan memperhatikan keadaan yang beliau hadapi itu kepada seseorang yang
menanyakan. Misalnya tentang perbuatan terbaik dan disukai Allah, Nabi menjawab
sesuai dengan keadaan pada waktu dan siapa yang bertanya. Jawaban yang dapat
direkam atas pertanyaan yang sama tersebut adalah:
a. Amal
yang baik adalah sholat tepat pada waktunya
b. Amal
yang baik dan disukai Allah adalah membaca Al-Qur’an sepanjang waktu
c. Amal
yang paling utama adalah menahan diri dari mengganggu dan menyakiti manusia
d. Amal
yang paling utama adalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya
e. Amal
yang paling baik adalah member makan kepada fakir miskin dan memberikan salam
kepada siapa saja.
Dari
kelima arti matan hadits yang dikutip diatas dapatlah dipahami bahwa yang
termasuk lebih utama itu ternyata bermacam-macam. Dalam pada itu, dapat pula
dipahami bahwa untuk pertanyaan-pertanyaan yang sama (senada), ternyata dapat
saja jawabannya berbeda-beda. Perbedaan materi jawaban sesungguhnya tidaklah
bersifat substantif. Yang substantif adalah relevasi antara keadaan orang yang
bertanya dan materi jawaban yang diberikan.
3. Penghubungan
atau Pentarjihan antara hadits-hadits yang (tampaknya) bertentangan
Pada
dasarnya nash-nash syari’at tidak mungkin saling bertentangan. Sebab kebenaran
tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Karena itu, apabila diandaikan juga
adanya pertentangan maka hal itu hanya dalam tampak luarnya saja bukan dalam
kenyataan yang hakiki.
Apabila
penghilangan itu dapat dihapus dengan cara menggabungkan atau menyesuaikan
antara kedua nash, tanpa harus memaksakan atau mengada-ada sehingga
kedua-duanya dapat diamalkan, maka yang demikian itu lebih utama daripada harus
mentarjihkan antara keduanya. Sebab pentarjihan berarti mengabaikan salah satu dari
keduanya sementara mengutamakan yang lain.
Misalnya,
hadits yang berisi larangan buang hajat menghadap kiblat ataupun
membelakanginya. Namun dalam hadits yang lain dinyatakan bahwa Nabi pernah
membuang hajat menghadap ke Baitul Maqdis, yang berarti membelakangi kiblat.
Dengan demikian secara tekstual petunjuk kedua hadits tampak bertentangan.
Menurut
penelitian ulama hadits, petunjuk kedua hadits tersebut tidak bertentangan.
Larangan Nabi berlaku bagi yang mebuang hajat di lapangan terbuka, sedang yang
melakukan buang hajat di tempat tertutup, misalnya WC, larangan tidak berlaku.
Penyelesaian dalam hal ini ditempuh dengan metode al-jam’u.
4. Memahami
hadits dengan mempertimbangkan latar belakangnya, situasi dan kondisi ketika
diucapkan
Adakalanya suatu
hadits berkaitan erat dengan keadaan yang sedang terjadi. Keadaan tersebut
tidak termuat dalam matan hadits yang bersangkutan. Untuk mengkaji lebih khusus
tentang pemahaman hadits yang berkaitan dengan keadaan yang sedang terjadi atau
berkembang, berikut ini dikemukakan contoh matan hadits. Misalnya, hadits
tentang melukis:
اِنَّ اَشدَّالنَّاسِ عَذَابًا عِنْدَاللهِ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ المُصَّوِّرُوْنَ
(رواه البخارى ومسلم وغيرهما عن عبدالله بن
مسعود)
“Sesungguhnya orang-orang yang menerima siksaan yang paling dahsyat di
hadirat Allah pada hari kiamat kelak adalah pelukis.”
Secara tekstual hadits tersebut memberikan pengertian larangan
untuk melukis, bahkan dalam hadits lain para pelukis di hari kiamat kelak
dituntut untuk memberikan nyawa kepada apa yang dilukiskannya di dunia.
Malaikat juga tidak akan masuk rumah yang didalamnya ada lukisannya. Larangan
melukis dan memajang lukisan yang dikemukakan Nabi itu sesungguhnya mempunyai latar belakang hukum (illat
al-hukum). Pada zaman nabi, masyarakat belum lama terlepas dari kepercayaan
menyekutukan Allah, yakni penyembahan patung dan semacamnya. Dalam kepastiannya
sebagai Rasulullah, Nabi Muhammad berusaha keras agar umat islam terlepas dari
kemusyrikan tersebut. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan mengeluarkan
larangan memproduksi dan memajang lukisan.
Kalau illat al hukumnya demikian, maka pada saat umat islam
tidak lagi dikhawatirkan terjerumus ke dalam kemusyrikan, khususnya dalam
bentuk penyembahan terhadap lukisan, maka membuat dan memajangnya
diperbolehkan. Kaidah ushul fiqh menyatakan, hukum itu ditentukan oleh illatnya
(latar belakangnya), bila illatnya ada maka hukumnya ada. Dan bila illatnya
sudah tidak ada, maka hukumnya juga tidak ada.
5. Membedakan
antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan yang bersifat majaz/kiasan
Ungkapan dalam
bentuk majaz atau kiasan banyak sekali digunakan dalam bahasa arab. Dalam ilmu
balaghah dinyatakan bahwa ungkapan dalam bentuk majaz, lebih terkesan daripada
ungkapan dalam bentuk biasa. Sedangkan Rasulullah SAW adalah seorang yang
berbahasa arab yang paling menguasai balaghah. Maka tak mengherankan apabila
dalam hadits-hadits beliau banyak menggunakan majaz, yang mengungkap maksud
beliau dengan cara sangat mengesankan.
Misalnya hadits:
اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ
يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا (رواه البخارى ومسلم وغيرهما)
“Orang yang beriman terhadap orang yang beriman lainnya ibarat bangunan,
bagian yang satu memperkokoh bagian yang lainnya.”
Hadits nabi tersebut mengemukakan tamsyil tasybih bagi
orang-orang yang beriman sebagai bangunan. Tasybih tersebut sangat berlaku
tanpa terikat waktu dan tempat. Sebab setiap bangunan pastilah bagiannya
berfungsi memperkokoh bagian-bagian lainnya dan tidak berusaha saling
menjatuhkan..
6. Memahami
hadits nabi yang berupa ungkapan simbolik
Sebagaimana
halnya dalam Al-Qur’an, dalam hadits Nabi juga dikenal adanya ungkapan yang
berbentuk simbolik. Penetapan bahwa ungkapan satu ayat ataupun satu hadits berbentuk
simbolik adakalanya mengundang perbedaan pendapat. Bagi yang berpegang pada
kenyataan secara tekstual, maka ungkapan yang bersangkutan dinyatakan bukan
sebagai simbolik.
Misalnya hadits yang berbunyi:
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالى كُلَّ
لَيْلَةٍ اِلَى السَّمَاءِالدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ الَّيْلِ الْاَخِرِ
يَقُوْلُ:مَنْ يَدْعُوْنِيْ فَاَسْتَجِبُ لَهُ مَنْ يَسْأَلَنِيْ فَاُعْطِيْهِ
مَنْ يَسْتَغْفِرْنِي فَاَغْفِرُلَهُ
“Tuhan kita (Allah) Tabaroka Wa Ta’ala turun ke langit dunia pada saat
malam dipertiga akhir (Allah) berfirman, “Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku,
niscaya Aku kabulkan doanya itu, barangsiapa meminta (sesuatu) kepada-Ku
niscaya aku memberinya, (dan) barangsiapa minta ampun kepada-Ku, niscaya Aku
mengampuninya.”
Ulama
yang memahami petunjuk hadits secara tekstual berpendapat bahwa matan hadits
tersebut berkualitas lemah (dhaif) bahkan palsu sebab Allah digambarkan naik
turun langit dunia. Itu berarti, Allah disamakan dengan makhluk. Padahal matan
hadits tersebut berkualitas shahih bila dipahami secara kontekstual.
Maksud
matan hadits yang mnyebutkan bahwa Allah turun ke langit dunia adalah limpahan
rahmat-Nya. Malam pertiga akhir dipilih karena saat yang demikian itu adalah
saat yang mudah untuk memperoleh suasana khusyu’ dalam berdo’a dan beribadah shalat
dalam keadaan yang penuh kekhusyukan itu, maka kehadiran limpahan rahmat Allah
mudah diperoleh.
7. Memahami
hadits dengan mempertimbangkan sebab secara khusus (asbabul wurud) jika ada.
Secara
etimologis, “asbabul wurud” merupakan susunan idhafah yang berasal dari kata
“asbab” jamak dari “sabab” yang berarti “segala sesuatu yang dapat
menghubungkan kepada sesuatu yang lain” atau “penyebab terjadinya sesuatu”.
Sedangkan “wurud” merupakan isim masdar dari “warada, yaridu, wurudan” yang
berarti datang atau sampai. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa asbabul wurud
adalah konteks historisitas, baik berupa peristiwa atau pertanyaan atau lainnya
yang terjadi pada saat hadits itu disampaikan.
Memahami hadits
dengan memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi diucapkannya
suatu hadits sangat penting.
Contoh:
اَنْتُمْ
اَعْلَمُ بِاُمُرِالدُّنْيَاكُمْ (رواه مسلم عن أنس)
“Kamu sekalian lebih
mengetahui tentang urusan duniamu.” (HR. Muslim dari
Anas)
Hadits tersebut mempunyai asbabul wurud
(sebab mendahuluinya terjadinya hadits). Pada suatu saat, Nabi lewat dihadapan para
petani yang sedang mengawinkan serbuk (kurma pejantan) ke putik (kurma betina).
Nabi berkomentar: “Sekiranya kamu sekalian tidak melakukan hal itu, niscaya
kurmamu akan lebih baik.” Mendengar komentar itu, para petani lalu tidak lagi
mengawinkan kurma mereka. Setelah beberapa lama, Nabi lewat kembali ketempat
itu dan dan menegur para petani: “Mengapa pohon kurma itu?” Para petani lalu
melaporkan apa yang telah dialami kurma mereka, yakni banyak yang tidak jadi.
Mendengar keterangan mereka itu, Nabi lalu bersabda sebagaimana dikutip diatas.
Banyak kalangan yang memahami hadits
terebut secara tekstual. Mereka mengatakan bahwa Nabi tidak banyak mengetahui
tentang urusan dunia itu kepada para sahabat (umat islam). Adapun yang
berpendapat bahwa berdasarkan petunjuk
hadits itu, maka islam membagi kegiatan hidup yakni kegiatan dunia dan
kegiatan agama. Padahal dalam sejarah, Nabi adalah urusan dunia disamping
sebagai urusan agama. Nabi juga berdagang dan berhasil. Dan berdagang adalah
urusan dunia.
Jadi hadits tersebut, sesungguhnya
tidaklah menyatakan bahwa Nabi sama sekali buta terhadap urusan dunia. Kata
dunia yang temuat dalam hadits tersebut lebih tepat diartikan sebagai profesi
atau bidang keahlian. Dengan demikian, maksud hadits itu adalah bahwa Nabi
tidak memiliki keahlian sebagai petani, karena para petani lebih mengetahui
tentang dunia pertanian daripada Nabi.
C. Istilah
Kontekstual
Kata
“kontekstual” barasal dari “konteks” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengandung dua arti: 1) bagian sesuatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung
atau menambah kejelasan makna; 2) situasi yang ada hubungan dengan suatu
kejadian. Kedua arti ini dapat digunakan karena tidak terlepas istilah dalam
kajian pemahaman hadits.
Secara
garis besar ada dua tipologi pemahaman ulama atas hadits:
a.
Pemahaman atas hadits tanpa
memperdulikan proses sejarah yang melahirkannya. Tipologi ini dapat disebut
Tektualis. Atau menurut Suryadi tektualis adalah sebuah istilah yang
dinisbatkan pada ulama yang dalam memahami hadits cenderung memfokuskan pada
data riwayat yang menekankan kupasan dari sudut gramatikal bahasa.
b. Pemahaman
kritis dengan mempertimbangkan asal-usul (asbab al-wurud) hadits. Tentu saja
mereka memahami hadits secara kontekstual. Berkaitan dengan pemahaman dengan
pendekatan kontekstual, para sahabat sudah mulai melakukannya, bahkan ketika
Nabi masih hidup.
2.
Alasan
Teks Hadits Harus Dipahami secara Tekstual dan atau secara Kontekstual
A. Dasar-dasar
Tekstualisasi dan kontekstualisasi
Ada beberapa alasan mengapa kontekstualisasi menjadi
sebuah keniscyaan. Menurut M. Sa’ad alasan-alasan tersebut adalah:
1. Masyarakat
yang dihadapi Nabi Muhammad SAW, bukan sama sekali kosong dari pranata-pranata
kultural yang tidak dinafikan semuanya oleh kehadiran nas-nas yang menyebabkan
sebagian bersifat tipikal, misalnya pranata dzihar
"انت علي كظهر أمي (bagiku engkau bak punggung ibuku).
Ungkapan tersebut hanya berlaku dalam konteks budaya arab, jika ditransfer
dalam budaya keindonesiaan maka jelas maknanya berbeda.
2. Dalam
keputusan Nabi sendiri telah memberikan gambaran hukum yang berbeda dengan
alasan “situasi dan kondisi”. Misalnya tentang ziarah kubur, yang semula
dilarang karena kekhawatiran terjebak kepada kekufuran dan setelah dipandang
masyarakat cukup mengerti akhirnya diperbolehkan.
3. Peran
sahabat sebgai pewaris Nabi yang paling dekat sekaligus memahami dan menghayati
hadits nabi dengan risalah yang diembannya telah mencontohkan kontekstualisasi
nash (teks). Misalnya Umar bin khattab pernah menyatakan bahwa hukum talak tiga
dalam sekali ucap yang asalnya jatuh satu talak menjadi tiga talak.
4. Implementasi
pemahaman terhadap nash (teks) secara tekstual sering kali tidak sejalan dengan
kemaslahatan yang justru menjadi reason d”etre kehadiran islam itu sendiri.
5. Pemahaman
tekstual secara membabi buta berarti mengingkari adanya hukum perubahan dan
keanekaragaman yang justru diintroduksi oleh nash itu sendiri.
6.
Pemahaman secara kontekstual yang
merupakan jalan menemukan moral ideal nash berguna untuk mengatasi keterbatasan
teks berhadapan dengan kontinuitas perubahan ketika dilakukan perumusan legak
spesifik yang baru.
7. Penghargaan
terhadap aktualisasi intelektual manusia lebih dimungkinkan pada upaya
pemahaman teks-teks islam secara kontekstual sebagai trademark islam itu agama
rasional dan intelektual.
8. Kontekstualisasi
pemahaman teks-teks islam mengandung makna bahwa masyarakat dimana dan kapan
saja selalu dipandang positif, optimis oleh islam yang dibuktikan dengan sikap
khasnya yang akomodatif terhadap pranata sosial yang ada (maslahat) yang
terumuskan dalam kaidah “al-‘aadatu Muhkamatun” (tradisi itu dipandang legal).
9. Keyakinan
bahwa teks-teks islam adalah petunjuk terakhir dari langit yang berlaku
sepanjang masa, mengandung makna bahwa didalam teks yang terbatas tersebut memiliki
dinamika internal yang sangat kaya, yang harus terus menerus dilakukan
eksternalisasi melalui interprestasi yang tepat.
B. Batas-batas
tekstualisasi dan kontekstualisasi
Batasan kontekstualisasi meliputi dua hal, yaitu:
1. Dalam
ibadah mahdhoh (murni)
Jika
ada penambahan dan pengurangan untuk penyesuaian terhadap situasi dan kondisi,
maka hal tersebut adalah bid’ah.
2. Bidang
diluar ibadah murni
Kontekstualisasi
dilakukan dengan tetap berpegang pada moral ideal nash,untuk selanjutnya
dirumuskan legal spesifik baru yang menggantikan legal spesifik lamanya.
Sedangkan
menurut Suryadi, batasan-batasan tekstual (normatif) meliputi:
1. Ide
moral/ide dasar/tujuan dibalik teks (tersirat). Ide ini ditentukan dari makna
yang tersirat dari balik teks yang sifatnya universal, lintas ruang waktu dan
intersubjektif.
2. Bersifat
absolute, prinsip, universal, fundamental.
3. Mempunyai
visi keadilan, kesetaraan, demokrasi, mu’asyaroh bil ma’ruf.
4. Terkait
relasi antara manusia dan Tuhan yang bersifat universal, artinya segala sesuatu
yang dapat dilakukan siapapun, kapanpun, dan dimanapun tanpa terpengaruh oleh letak geografis, budaya dan
historis tertentu.
Adapun
batasan-batasan kontekstual (historis) mencakup:
a. Menyangkut
bentuk atau sarana yang tertuang secara tekstual. Dalam hal ini tidak seseorang
untuk mengikuti secarasaklek (apa adanya). Sehingga bila ingin mengikuti Nabi
tidak harus berbahasa arab, memberi nama arabisme, berpakaian gamis ala timur
tengah dan sebagainya. Karena itu produk budaya yang tentu secara dzahir antara
setiap wilayah berbeda.
b. Aturan
yang menyangkut manusia sebagai makhluk individu dan biologis. Jika Rasulullah makan hanya menggunakan tiga
jari, maka kita tidak harus mengikuti dengan tiga jari, karena konteks yang
dimakan Rasulullah kurma atau roti.
c. Aturan
yang menyangkut manusia sebagai makhluk sosial, bagaimana manusia berhubungan
dengan sesama, alam sekitar serta makhluk hidup lainnya.
d. Terkait
masalah sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dimana kondisi sosial,
politik, ekonomi dan budaya yang sedemikian kompleks. Maka kondisi zaman Nabi
tidak bisa dijadikan parameter.
3.
Contoh
Hadits yang Dilengkapi dengan Pemahaman secara Tekstual dan Kontekstual
Adapun contoh haditsnya
adalah sebagai berikut:
1.
Al-Bukhori dalam kitabnya Shahih
al-Bukhori Bab Fi al-Amal wa Thuluhu, mencantumkan hadits yang diriwayatkan
oleh Abdullah bin Mas’ud. Matan haditsnya member informasi secara tekstual
mengenai sketsa kehidupan yang pernah digambarkan langsung oleh Nabi dihadapan
sahabat,yang dituturkan dalam khabarnya sebagai berikut ini:
“Dari Abdullah ibn
Mas’ud r.a. dia berkata , “Nabi SAW
membuat gambar segi empat. Kemudian menggambar sebuah garis lurus memanjang
hingga keluar dari garis kotak segi empat. Lalu Nabi menggambar garis-garis
kecil melintasi garis lurus yang memanjang di tengah kotak segi empat. Lalu
Nabi SAW menjelaskan (maksud gambar): Ini manusia, dan garis-garis persegi itu
kurungan ajalnya, sedang garis panjang yang keluar dari batas itu
angan-angan/cita-citanya. Adapun garis-garis kecil itu adalah tantangan atau
rintangan yang selalu menantang manusia (untuk menghadapinya). Maka apabila
manusia lolos dari satu tantangan maka akan berhadapan dengan tantangan yang
berikutnya, dan apabila dia lolos dari satu tantangan lagi maka akan berhadapan
dengan tantangan yang lain berikutnya.” Inilah kata Ibnu Mas’ud – gambaran
yang digoreskan Nabi SAW. (HR.al-Bukhori)
Hadits yang diriwayatkan
oleh Ibnu Mas’ud r.a. diatas, secara tekstual berisi visualisasi kehidupan dan
bagaimana tepatnya sikap kita menghadapi suatu tantangan kehidupan. Terdapat
tiga persoalan yang dalam menurut paparan hadits itu dihadapi manusia dalam
kehidupan. Pertama, persoalan mengenai batas waktu ajal kehidupan manusia.
Kedua, persoalan tentang rentang panjangnya waktu untuk cita-cita yang dapat
dibuat manusia dalam kehidupan. Ketiga, persoalan tentang problema atau
tantangan yang dihadapi dalam kehidupan.
Tiga
persoalan pokok ini disampaikan oleh Nabi SAW dihadapan para sahabat yang tetap
relevan untuk kita pegangi dalam menjalani kehidupan sekarang dan ke depan.
Dalam
konteks ini, terbuka cakrawala manusia untuk mengikhtiarkan menurut jangkauan
akalnya. Diluar itu, kita tentu menghadapi ketentuan Dzat Yang Maha Penentu,
Yang Maha Mengetahuiapa yang akan terjadi bagi hamba pada hari esoknya. Dialah
pemilik rahasia utama ajal, yang biasanya dapat menjadi penyelesai ‘keangkuhan’
manusiadari teka teki panjang pendeknya usia. Mungkin saja, manusia itu pada
hari kemarin masih segar yang tak ada seorangpun curiga akan ditinggalkan
olehnya, namun ajal diatas segala sebab bisa tiba-tiba datang.
Tentang
cita-cita, manusia rupanya memang mempunyai daya khayal yang jauh ke depan.
Dari sekian banyak makhluk, manusialah yang terbukti mampu merencanakan
aktivitas untuk masa depan. Bahkan, mereka dapat menciptakn suasana untuk
merekayasa masa depan yang gemilang yang diangankan bagi hidup kemanusiaan.
Dari banyaknya imajinasi yang bisa dirancang manusia, maka gambar daya khayal
itu jauh melebihi panjang segi empat yang merupakan batas masa kehidupan yang bisa
dilaluinya.
Selanjutnya
tantangan kehidupan, adalah sesuatu yang minta ditanggulangi, atau objek yang
menggugah tekad untuk meningkatkan kemampuan mengatasi masalah. Tantangan
kehidupan tetap minta diatasi oleh setiap manusia yang ingin eksis dalam kehidupan.
Tantangan kehidupan masa kini cukup kompleks bukan sekadar persoalan sakit atau
meninggal. Semua dituntut menemukan jawabannya.
2. Sikap
Aisyah r.a. ketika mendengar hadits yang menyatakan bahwa orang mati diazab
karena tangisan keluarganya terhadapnya. Ia menolaknya, bahkan kemudian
bersumpah bahwa Nabi SAW tidak pernah mengucapkan ‘hadits’ tersebut. Bahkan ia
kemudian menjelaskan alasan penolakannya dengan berkata: “Adakah kalian lupa
akan firman Allah SWT, Tidaklah seseorang menanggung dosa orang lain
(Al-An’am:164)
Demikianlah
sikap Aisyah dengan tegas dan berani telah menolak periwayatan suatu ‘hadits’
yang bertentangan dengan Al-Qur’an. Walaupun begitu, ‘hadits’ yang tertolak ini
masih saja tercantum dalam kitab-kitab ‘shahih’. Bahkan Ibn Sa’d, dalam bukunya
Ath-Thabaqat Al-Kubra, mengulang-ulangnya dengan beberapa sanad yang berbeda.
Yang
hendak ditegaskan oleh Aisyah ialah bahwa sabda Rasulullah SAW ialah: “Sesungguhnya orang kafir akan beroleh
(tambahan) siksaan disebabkan tangis keluarganya terhadapnya.”
3. Sikap
keras orang-orang yang dengan tegas menolak
mengeluarkan zakat fitrah dengan uang, sebagaimana madzhab Imam Abu Hunaifah
dan pengikutnya sebgaian juga yang dipegang oleh Umar Ibn Abd al-Aziz dan
fuqaha salaf. Alasan mereka adalah karena Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat
ada jenis makanan-makanannya tertentu; yaitu kurma,, kismis dan gandum, hal itu
harus dilakukan dan tidak boleh menentang sunnah dengan logika.
Rasulullah SAW sangat
memperhatikan kondisi lingkungan dan waktu, Rasulullah mewajibkan zakat fitrah
dengan makanan yang dimiliki masyarakat, yaitu bahan makanan yang lebih
memudahkan bagi orang yang memberi dan lebih bermanfaat bagi orang yang
menerima.
4. Hadits
tentang keharusan mahram bagi wanita ketika bepergian, Ibnu Hibban menyatakan:
“Al-Hasan
Ibnu Sufyan telah mengkhabarkan kepada kami dia berkata: Muhammad ibnu ‘Abd
Allah ibn Namir telah menceritakan kepada kami dia telah telah berkata: Bapakku
telah menceritakan kepada kami dia berkata: ‘Ubaid Allah ibnu ‘Umar telah menceritakan
kepada kami dari Nafi’: dari Ibnu ‘Umar sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Seorang perempuan dilarang bepergian,
kecuali dengan mahramnya.”
Hadits diatas jika dipahami
secara tekstual (lafdziyah) akan dapat dipahami bahwa seorang perempuan tidak
boleh keluar rumah baik untuk bekerja atau keperluan lain tanpa bersama mahramnya.
Tentu akan menyulitkan perempuan pada saat ini. Tetapi apabila hadits itu
dipahami melalui konteksnya , maka alasan dibalik larangan itu adalah
kekhawatiran akan keselamatan perempuan yang bepergian tanpa mahram. Ketika itu
sarana transportasi antara lain adalah unta, keledai. Mereka biasanya menempuh
perjalanan melalui padang pasir dan daerah-daerah sepi yang tidak berpenghuni. Berdasarkan
latar belakang kondisi alam saat itu larangan wanita keluar rumah adalah
bersifat kondisional.
5.
“Apabila bulan Ramadhan datang, maka pintu-pintu surga terbuka dan
pintu-pintu neraka terkunci dan para setan dibelenggu.”
Pemahaman
secara tekstual terhadap hadits diatas menyatakan bahwa karena bulan Ramadhan
hal diatas terjadi. Pemahaman itu menonjolkan keutamaan bulan Ramadhan saja,
tanpa menyetarakan berbagai amal yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang
yang beriman pada bulan Ramadhan tersebut.
Sekiranya
kata-kata dibelenggu dalam hadits tersebut diartikan secara fisik dan penyebab
dibelenggunya semua setan itu adalah bulan Ramadhan, niscaya tidak ada orang
yang berbuat maksiat. Pada kenyataannya di bulan Ramadhan masih banyak orang
yang melakukan maksiat.
BAB
III
KESIMPULAN
DAN PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Pemahaman
dan penerapan hadits secara tekstual dilakukan bila hadits yang bersangkutan,
setelah dihubungkan dengan segi-segi yang berkaitan dengannya misalnya, latar
belakang terjadinya tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis
dalam teks hadits yang bersangkutan atau tekstual.
2. Pemahaman
dan penerapan hadits dilakukan secra kontekstual dilakukan bila “dibalik” teks
sesuai hadits, ada petunjuk kuat yang mengharuskan hadits yang bersangkutan
dipahami dan diterapkan tidak sebagaimana yang tekstual (tersurat) namun harus
dimaknai secara kontekstual (tersirat).
3. Beberapa
petunjuk dan ketentuan umum untuk memahami hadits:
a. Memahami
hadits sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an
b. Menghimpun
hadits-hadits yang terjalin dalam tema yang sama
c. Penggabungan
atau pentarjihan antara hadits-hadits yang (tampaknya) bertentangan
d. Memahami
hadits dengan mempertimbangkan situasi dan kondisinya ketika diucapkan
e. Membedakan
antara ungkapan yang bermakna sebenarnya yang bersifat majas/tamsil/kiasan.
f. Memahami
hadits Nabi yang berupa ungkapan simbolik
g. Memahami
hadits dengan mempertimbangkan sebab secara khusus (asbabul wurudnya) jika ada.
B. PENUTUP
Demikianlah makalah kami, kami menyadari makalah
kami ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami harapkan kritik dan
saran yang membangun dari teman-teman sekalian beserta dosen mata kuliah.
Sehingga kami bisa memperbaiki makalah selanjutnya. Dan semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiiinn
DAFTAR PUSTAKA
Dedikbud RI.1998.Kamus Besar bahasa Indonesia.Jakarta:Balai
Pustaka
Al-Ghazali, Syaikh Muhammad.1992.
“Studi Kritis atas Hadits Nabi antara
Pemahaman Tekstual dan Kontekstual”. Bandung:Mizan
Soebahar, Prof.Dr.H.M.
Erfan.2008. “Aktualisasi Hadits Nabi di
Era Teknologi Informasi” . Semarang:RaSAIL Media Group